Kebanyakan dari kita yang bertahan dalam sebuah hubungan destruktif tidak melakukannya karena kita masokis. Memang benar, kita mungkin tahan dengan perbuatan-perbuatan menjijikkan yang dilakukan oleh kekasih kita dan bahkan terus saja mencarinya. Namun ketakutan adalah motivator yang sangat kuat yang bisa membuat kita melakukan hal-hal tidak masuk akal. Yang harus kita lakukan adalah memahami ketakutan-ketakutan itu lalu berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.

1. Kamu sudah kebal terhadap rasa sakit

Bukan, bukan kebal. Lebih mirip mati rasa. Akan ada sebuah titik dalam hubungan tidak sehat dimana tersakiti menjadi sebuah kebiasaan. Kita lalu merasa bahwa hal itu wajar. Lalu timbullah rasa tidak percaya terhadap insting kita dalam memilih lelaki. Bukannya kita menjalani hubungan tersebut suka rela dan dengan antusias? Lalu, memang ada jaminan hubungan berikutnya akan lebih baik?

Pada faktanya, kita takut bahwa hubungan berikutnya akan menjadi lebih buruk. Kamu mungkin merasa bahwa kamu tengah berada di padang gurun, dan ia adalah oase terakhir. Kamu terlalu takut untuk berjalan lagi dan mencari tempat yang lebih baik.

Padahal, ini tak selamanya benar. Semakin besar usaha kita memperbaiki kesehatan emosional, semakin besar insting kita untuk tidak jatuh cinta dengan lelaki yang tidak baik. Ambillah waktu untuk dirimu sendiri beristirahat dan menyembuhkan insting-instingmu.

2. Kamu ketakutan meninggalkan hubungan itu

Dia mungkin pacar pertamamu, dan kamu tak pernah merasakan putus sebelumnya. Atau, bisa jadi teman-temanmu sudah mulai menikah, dan kamu merasa berkewajiban mempertahankan hubungan itu selamanya. Hubungan bertahun-tahun dengannya akan terasa bodoh untuk dibuang begitu saja, apalagi karena setelah putus, kamu mungkin butuh waktu bertahun-tahun lagi untuk bertemu pria baru, belajar mempercayainya, dan akhirnya jatuh cinta. Lalu kapan kamu bisa menikah dan punya anak?

Padahal, jika hubungan itu sudah toxic, penuh dengan pertengkaran, sifat kasar dan tidak perhatian darinya bahkan sebelum kamu berumah tangga, besar kemungkinan hubungan itu tidak akan jadi lebih baik setelah kamu menikah. Coba pikirkan punya buah hati dengannya. Apakah sebuah rumahtangga disfungsional cocok untuk membesarkan anak?

3. Kamu takut waktunya tidak tepat

Ada beberapa di antara kita yang mempunyai jiwa pengasuh dan pengayom yang selalu ingin membuat orang lain bahagia. Jika kamu salah satunya, kamu akan merasa kesulitan mengkonfrontasi seseorang karena tingkah destruktifnya. Kamu memberinya banyak kesempatan karena kamu tidak mau membuatnya merasa jatuh. Kamu selalu memberitahu dirimu sendiri waktunya belum tepat.

Padahal, tak akan pernah ada waktu yang tepat untuk mengkonfrontasi atau menjauhkan dirimu dari seseorang yang berpengaruh buruk bagimu. Seringkali, kamu hanya harus melakukanyna, apapun yang terjadi. Ingatlah, setiap orang punya perjalanan spiritualnya masing-masing. Mungkin pelajaran darimu akan membuatnya menjadi lebih baik.

4. Kamu takut dia tidak bisa hidup tanpamu

Jika kamu mempunyai orangtua yang bercerai, mengalami KDRT, atau memiliki penyakit serius, kamu mungkin jadi punya rasa takut ini. Kamu tak bisa meninggalkan orangtuamu karena kamulah satu-satunya yang mereka miliki. Perasaan ini kamu bawa ke dalam hubungan. Walaupun kamu telah mantap dengan keputusan putus, mungkin kamu khawatir terhadapnya. Apakah ia akan baik-baik saja? Apakah patah hatinya tidak akan mengacaukan hidupnya? Siapa yang setelah ini akan mengurusinya? Akankah ada orang yang mau berbaik hati dengan sifat buruknya?

Ingatlah, bukan kamu yang menyebabkan kekasihmu menjadi disfungsional seperti itu. Kamu tak bisa mengendalikannya. Kamu tak bisa menyembuhkannya.

Baca juga Walaupun Saling Mencintai Belum Tentu Kalian Ditakdirkan Bersama

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like

5 Cara Menumbuhkan Hubungan Finansial yang Sehat Dengan Pasangan Anda

Komunikasi terbuka dan tujuan bersama merupakan hal mendasar